Rabu, 06 Juni 2012
Pendapat pribadi tentang kasus PT Asuransi Prisma Indonesia
1 komentar Diposting oleh permata di 08.06
Selasa, 08 Mei 2012
KRISIS AKUNTANSI Akuntansi, Pasar Modal, dan Earning Management Di Negara Negara berkembang dimana pasar modalnya masih baru seperti di Indonesia situasinya masih di dominasi oleh pasar tidak efisien atau pasar “lemah”. Artinya laporan keuangan yang dikeluarkan oleh emiten tidak serta merta dapat mempengaruhi harga saham atau surat berharga lain di bursa. Memang dalam kondisi tertentu ada juga hasil penelitian yang menunjukan bahwa EMH terjadi bisa pada periode tertentu, jangka waktu tertentu atau sector industri tertentu. Mengapa hal tersebut bisa terjadi di Negara kita ? ada beberapa alasan diantaranya : 1. Situasi ekonomi makro kita belum stabil 2. Di Negara maju, manajemen makronya lebih terarah karena umumnya menggunakan tangan atau mekanisme Bank Sentral. 3. Porsi atau peranan pasar modal di Negara maju sebagai sumber dana investasi sudah sangat besar. 4. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang dikeluarkan oleh profesi akuntan belum tinggi. 5. Masih belum banyak investor yang memahami laporan keuangan sebagai sumber informasi bisnis. 6. Pelaku pasar modal juga belum banyak, biasanya para pemain di pasar modal masih itu-itu juga. 7. Tingkat profitabilitas di pasar modal belum menjanjikan. Beberapa factor tersebut dapat menimbulkan mekanisme pasar modal sebagaimana yang terjadi di Negara maju tidak berjalan sempurna tidak berkembang seperti Indonesia. Akhirnya teori EMH di mana fungsi laporan keuangan sangat penting di Negara maju tidak seperti di Indonesia justru tidak begitu penting atau digolongkan sebagai pasar :”lemah”. Dari aspek akuntansi maka dengan berlakunya pasar modal yang efisien akan menguntungkan profesi akuntan. Sebagai akuntan yang yang di butuhkan profesi akuntan harus kuat dan beribawa karena profesi akuntan adalah profesi kepercayaan. Keakuratan informasi sangat penting diciptakan profesi ini, independensinya sebagai kepercayaan masyarakat harus tetap dijaga. Untuk mengatasi keterbatasan ini tentu kita harus bersabar menunggu berjalannya waktu sambil pemerintah dapat terus-menerus menciptakan pasar modal yang efisien dimana unsur-unsur keefisiennya bisa di tegakkan. Tingkat keefisienan pasar modal sangat penting dicapai agar pelaku pasar modal sangat penting dicapai agar pelaku pasar modal sangat penting dicapai agar pelaku pasar modal dapat bermain lebih objektif, pasar bisa lebih prediksi, resiko bisa diminimalisir dan tingkat probabilitas dapat dicapai sesuai harapan investor. Laporan keuangan yang merupakan output atau produk akhir dari akuntansi merupakan komoditas yang sangat bernilai dalam proses pengambilan keputusan ekonomi, keuangan dan bisnis khususnya di pasar modal yang dikategorikan efisien. Pasar yang efisien bermakna jika kebijakan yang ditempuh oleh masyarakat pasar modal didasarkan pada informasi yang semua dianggap tesedian bagi publik, sehingga harga pasar saham misalnya ditentukan oleh adanya berita yang tersedia. Apakah pasar modal di Indonesia dinilai efisien? Memang tidak dapat di bantah bahwa pasar modal kita BEI (Bursa Efek Indonesia) msih dinilai pasar modal yang masih belia sehingga pasarnya belum efisien. Hal ini ditambah lagi dengan kondisi social budaya Indonesia yang dinilai feudal dan belum siap sepenuhnya rasional. Laporan Keuangan Neraca, Laba Rugi dan Laporan arus Kas, disusun pleh manajemen dan laporan akhir tahun biasanya diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Independen. Karena laporan keuangan itu bisa mempengaruhi pengambilan keputusan maka biasanya manajemen maupun pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan itu berupaya menjadikan laporan itu tampak memberikan informasi yang bagus. Karena jika pasar efisien atau semi efisien maka informasi yang bagus akan menimbulkan harga saham yang bagus pula. Dan akhirnya akan memberikan nilai plus bagi manajemen. Earning Management Mengatur laba Earning Management dalam kasus akuntansi dikenal dalam berbagai istilah : ada yang menyebut “window dressing” atau “lipstick accounting” untuk menciptakan laporan keuangan yang lebih cantik. Maksud disini adalah mengatur laba yang diinginkan sponsor atau yg dikenal dengan istilah income smoothing, semua itu berkonotasi negative karena ingin menciptakan angka laba yang disortif inflatif tidak sesuai dengan kenyataan. Akhirnya akuntansi dituduh tidak memberikan informasi yang akurat bahkan dinilai menjadi “fuzzy numbers” atau angka yang membingungkan. Upaya mengatur laba ini kadang bisa di dukung oleh standar akuntansi yang dipakai. Sifat akuntansi yang banyak mengandung taksiran (estimasi), pertimbangan (judgment) dan sifat accrual membuka peluang untuk bisa mengatur laba. Taksiran penyusutan, bad debts, nilai persediaan, pemilihan standar penilaian persediaan misalnya FIFO, LIFO, standar penyusutan misalnya straight line, double declining dan sebagainya bisa mengubah angka laba. System akrual bisa memengaruhi alokasi waktu dari hasil dan biaya yang menimbulkan perubahan laba periodik. Ini semua bias menjadikan laba menyesuaikan diri dengan keinginan penyaji (cooked book) apalagi KAPnya tidak independen dan memiliki kepentingan serta moral hazard maka lengkaplah penipuan di bidang profesi akuntan itu yang belakangan ini banyak kita dengar. Sejauh ini profesi akuntan tidak bisa melakukan apa-apa kecuali hanya dalam tataran imbauan dan penerapan kode etik yang longgar paling tidak di Indonesia. Praktik-praktik earning management di BEI menurut beberapa penelitian menunjukkan eksistensinya. Jika hal ini terjadi maka profesi akuntan yang modalnya adalah kepercayaan masyarakat berada dalam situasi bahaya. Karena kontrak sosialnya bisa putus karena dia melupakan tanggung jawab sosialnya. Makanya tidak heran jika di Amerika saat ini sangant ketat pengawasan manajemen perusahaan atau corporate governance. Kita di Indonesia sudah selayaknya memikirkan hal ini sebelum kasus ENRON, WorldCom, Adelphia Com, Merck, Lippo, Kimia Farma merambah dan menambah banyaknya kasus skandal akuntansi di Tanah Air. Contoh Kasus 1 : Kasus Arthur Anderson yang hancur karena kasus Enron dan praktik skandal korporasi lainnya yang mengemuka belakangan ini memukul telak profesi akuntan. Profesi akuntan ini hanya hidup di atas kepercayaan publik. Menurunnya kepercayaan publik ini sudah mulai terasa, walaupun Amerika misalnya telah melakukan beberapa perbaikan untuk mengembalikan kepercayaan itu seperti keluarnya Sarbanes Oxley Act (SOA), aturan lain dalam peningkatan good corporate governance dan proses pengadilan dari mereka pelaku kejahatan korporasi tersebut. Walaupun demikian, ternyata penurunan kepercayaan ini terjadi juga dalam penurunan di sector pendidikan dan akademik bidang akuntansi. Riahi-Belkaoui: Apakah Akuntan Itu Profesi? Istilah organisasi profesi biasanya memiliki ciri-ciri: a. Memiliki badan ilmu pengetahuan. b. Memiliki otonomi c. Memiliki Solidaritas kelompok dalam komunitas profesi d. Mengatur sendiri urusannya kode etik. Pengertian ini kadang diganti dengan pendekatan yang berorientasi sejarah dan proses yang menganggap profesi sebagai kelompok yang sadar sendiri mencari posisi monopoli. Posisinya dalam pasar tenaga kerja untuk mencapai keuntungan social dan ekonomi. Dari perspektif ini sebuah profesi adalah bentuk organisasi pekerjaan yang mendapatkan anggotanya dari monopoli tenaga dan bidang kerja yang bebas dari kekuasaan pihak lain. Sebuah profesi yang sebenarnya harus memiliki otonomi yang tinggi dari nasabahnya dan otonomi dari perusahaan/organisasi yang menggunakan jasanya. Sebelum menjadi profrsi yang sesungguhnya, kelompok pekerja minimal melewati beberapa tahapan. Pengaruhnya, pendekatan menuju organisasi profesi dapat dibedakan antara tiga tahapan : 1. Potensi dimana suatu pekerjaan dapat diklaim sebagai status profesi. Dalam tahapan ini profesi bisa memiliki cirri-ciri : a) Hasil pekerjaan calon profesi itu dinilai penting dan rumit. b) Image yang dibangun untuk menunjukkan bahwa profesi itu memang penting, khas dan rumit. 2. Penilaian public terhadap klaim tadi dan kemungkinan penciptaan otonomi profesi. Dalam tahapan ini public bisa mengakui atau justru sebaliknya menolak bahwa jasa yang diberikan calon profesi tadi memang benar-benar penting, khas dan rumit. 3. Stabilitas dan memelihara profesi Profesi akuntan telah memiliki kriteria pertama yaitu tahapan potensial dengan memberikan jasa kepada masyarakat yang dinilai penting, khas dan rumit. Akuntan bukan profesi tiruan atau “mimic profession”. Namum, pertanyaan masih tetap ada apakah akuntan itu profesi sungguhan? Untuk membahas ini maka ada dua hal yang bisa diperdebatkan : a) Jika profesi akuntan dapat membuktikan dirinya sebagai profesi yang memiliki otonomi dari nasabahnya. b) Jika profesi akuntansi dapat dibuktikan sebagai hanya otonom dari organisasi yang menggunakan jasanya. Tugas dan kegiatan kerja akuntan membuat seorang karyawan hanya bergantung pada pemberi kerja untuk mendesain dan melaksanakan jasa, upah dan promosi kariernya.Keadaan ini dinilai mengurangi independensi dari organisasi yang menggunakannya dan mengurangi profesi akuntan sebagai sebuah organisasi profesi.Pada suatu tingkat dimana pekerja dibatasi dalam melaksanakan pekerjaannya oleh kendali dan permintaan orang lain membuat seorang pegawai menjadi kurang professional. Di luar dimana profesi tidak memenuhi criteria menjadi sebuah profesi yang sesungguhnya, profsi akuntansi menunjukan beberapa gejala dimana profesi akuntansi menunjukan beberapa gejala dimana profesi ini dinilai tidak memnuhi syarat sebagai suatu profesi, disebabkan beberapa situasi sebagai berikut : 1. Lemah penguasaan terhadap ilmu “informasi” Profesi akuntansi tidak memiliki mekanisme untuk meyakinkan pelaksanaan pengawasan yang terus menerus atas masyarakat di mana dia memberikan jasa dan kegiatannya. Misalnya lawyer memiliki mekanisme pengawasan yang sempurna atas ilmu hukum. 2. Tidak memiliki sifat altruistik Profesi akuntan belum menarik minat orang-orang yang berdedikasi yang mengabdikan hidupnya pada tujuan dan nilai yang bersifat altruistik. Kenyataannya profesi tidak memiliki tujuan dan nilai di mana anggota individu dapat mengamalkannya. 3. Perlunya bantuan dari keahlian lain Profesi akuntansi tidak mengembangkan ideologi yang bisa memberikan pedoman bagaimana sikap anggotanya terhadap informasi. Akibatnya menimbulkan lahirnya sub-keahlian lainnya dalam profesi dan munculnya keterlibatan non-akuntan dalam pemberian jasa yang berkaitan dengan produksi dan penyampain informasi. 4. Competency gap : Ada proses penyempitan dan gap kemampuan dalam bidang akuntansi. Mungkin ada fenomena akuntan frosesional yang ahli suatu saat, ketika umum membutuhkan disiplin akuntansi pada awal profesi ini muncul. Keterbatasan ini, yang mungkin bisa disebut sebagai “competency gap” yang dialami akuntansi yang muncul sejalan dengan munculnya berbagai disiplin ilmu yang berorientasi bisnis. 5. Pengueangan tugas karena kemajuan computer Banyak pengetahuan dan keahlian akuntansi saat ini bisa digantikan oleh software, program dan standarisasi yang disetting ilmu komputer. Banyak tugas akuntansi yang tergolong tugas rutin yang dapat dilakukan oleh bawahan atau staf perusahaan sendiri. 6. Semakin terspesialisasi Karena tidak semua ilmu bisa dimekanisme dan distandardisasi, tetapi ada beberapa ilmu pengetahuan telah menjadi lebih rumit, eksklusif, dan semakin terspesialisasi, keadaan inilah yang terjadi dalam ilmu akuntansi. 7. Skandal kecurangan korporasi Semakin banyaknya skandal kecurangan yang dilakukan oleh para top eksekutif atau kriminal kerah putih, kecurangan pelaporan keuangan, kegagalan audit memunculkan peningkatan keprihatinan perannan akuntan dan akuntansi. Tuntutan pengadilan kepada akuntan dan auditor semakin banyak. Situasi saat ini bisa juga dijadikan kambing hitam kegagalan profesi untuk menarik perhatian calon mahasiswa mempelajarin disiplin ini, dan memasuki profesi ini bukan jabatan profesi lainnya diluar profesi akuntan ini. Sarbanes Oxley Act Pada 20 Juli 2002, di Washington, USA, Presiden George W. Bush menandatangani UU Sarbanes Oxley Act 2002 yang merupakan UU yang mengubah UU tentang surat berharga dan UU lainnya yang relevan. Kasus Enron yang sempat meruntuhkan Kantor Akuntan Publik Big One Arthur Anderson diseluruh dunia dan merumahkan puluhan ribu tenaga akuntannya. Akibatnya pemerintah amerika tentu sangat khawatir karena dampak dari skandal ini sangat luar biasa karena bisa melunturksan kepercayaan public kepada profesi akuntan, pasar modal, dan system keuangan kapitalis yang dibangun dengan sentiment pasar modal ini. Apa sebenarnya yang disajikan oleh UU Sarbanes Oxley itu? Berikut ini kita sajikan beberapa hal penting : 1. Tanggung jawab perusahaan Dengan adanya UU ini, tanggung jawab semua terafiliasi dalam perusahaan semakin diminta dan ditekankan. Komite Audit harus aktif, pengawasan auditor diperketat, pemisahannya yang lebih jelas antara audit service dan nonaudit service, dan perlunya persetujuan dan penggunaan kapan atas semua jasa non audit. 2. Auditor Walaupun selama ini sudah diatur tentang independensi akuntan publik, tetapi dalam UU ini diperketat lagi kewajiban mempertahankan independensi akuntan dan membentuk dewan Pengawas Akuntan Publik. 3. Pengungkapan diperluas Beberapa hal yang wajib diungkapkan adalah : manajemen dan auditor setiap tahun harus menilai sistem pengawasan internalnya. Seperti halnya di industri perbankan, semua biaya yang bersifat off-balance sheet dan pembiayaan yang bersifat kontijensi harus di ungkapkan. 4. Analis Analis saham harus dapat mengungkapkapkan kemungkina konflik kepentingan. 5. SEC SEC memperluas objek riviewnya terhadap laporan keuangan perusahaan, meningkatkan kekuasaan untuk memaksa perusahaan melaksanakan peraturannya dan menaikan biaya hukuman terhadap setiap pelanggaran UU pasar modal. Kelemahan akuntansi Sebagai Penyuplai Informasi Informasi sangat penting dalam proses pengambilan keputusan. Untuk mendapatkan keputusan yang baik dan benar maka diperlukan informasi yang lengkap, akurat, tepat waktu, dan benar. Dalam ekonomi khususnya dalam lembaga bisnis maka mau tidak mau bisnis dengan segala persoalananya harus dipahami sifat dan karakternya agar kita bisa me-manage bisnis itu dengan baik dan sukses. Salah satu instrument yang dibutuhkan manajer adalah informasi dan informasi tentang bisnis ini diberikan oleh ilmu akuntansi. ILmu Akuntansi Adalah Ilmu Informasi Akuntansi memberikan keterangan mengenai berbagai kegiatan perusahaan, tetapi sangat terbatas pada : 1. Kegiatan yang bersifat ekonomi dan berdampak uang yang mengakibatkan dalam posisi keuangan baik harta, utang, modal, hasil, dan biaya. 2. Kegiatan yang melibatkan pertukaran antar berbagai pihak dalam organisasi dan dengan luar organisasi. 3. Informasi bersifat moneter historis dan kuantitatif. Ketiga sifat informasi akuntansi saat ini sedang mengalami disorganisasi yang bia berdampak pada eksistensi dan kemanfaatan informasi akutansi itu. Akuntansi tradisional atau konvesional tidak mampu memberikan informasi yang utuh, relevan, up to date, dan lengkap tentang bisnis yang dilaporkannya. Mengapa informasi itu tidak lengkap? Ada beberapa alasan : 1. Tidak seluruhnya kegiatan perusahan yang mengubah posisi keuangan perusahaan berupa transaksi yang melibatkan uang. 2. Tidak semua kegiatan perusahaan menyangkut transaksi timbale balik. 3. Tidak semua informasi itu bisa dikuantitatifkan apalagi diuangkan, sedangkan laporan akuntansi hanya berfokus pada informasi kuantitatif dan uang. Alternatif di Luar Akuntansi Konvesional Skandal besar dalam korporasi belakangan ini yang mempengaruhi industry keuangan, pasar modal, investor, profesi dan karyawan menurut Bazerman et.al (2002) tidak lepas dari tindakan korupsi, kriminalitas dari akuntan yang tidak memiliki etika yang memalsukan angka-angka, melakukan penyelewengan baik untuk kepentingan pribadi maupun ubtuk melindungi kliennya. Oleh karena itu, sudah banyak pemikir yang mencoba memberikan alternative akuntansi. Hayashi (1989) misalnya mengemukakan beberapa school of thought yang menganjurkan new paradign of accounting misalnya : British Critical Accounting School, Political Economy of Accounting, Hopwood’s alternative Accounting Theory. Di pihak lain Triyuwono (2000) membentangkan beberapa pikiran akuntansi yang berada diluar mainstream yang dilandasi American non-classical economics thought misalnya : Paradigma interpretif yang dimotori Preston, 1986, Paradigma kritikal yang disponsori Tinker, 1984, 1988, Tinker, merino, dan Neimark 1982. Akuntan Publik di Indonesia dan Kasus Enron Kasus Enron Corporation di Amerika, yang baru-baru ini dinyatakan bangkrut oleh pengadilan Amerika, memunculkan sorotan baru bagi profesi akuntan. Kasus ini telah menimbulkan korban, yaitu “partner in charge” untuk perusahaan Enron dari salah satu kantor akuntan internasional terbesar, Arthur Anderson telah dipecat, bahkan salah seorang pemimpin tertinggi perusahaan Enron telah bunuh diri akibat “debacle” tersebut. Arthur Anderson sendiri telah membentuk Oversight Committee yang diketahui mantan ketua US Federal Reserve Bank Volcker untuk menyelidiki kasus ini. Saat ini pers khususnya majalah bisnis sedang menyoroti profesi akuntan ini secara tajam. Bahkan di Amerika sebagian besar kantor akuntan telah melakukan koreksi diri dengan cara tidak mau lagi menggabungkan jasa konsultan dengan jasa audit dalam satu atap. Sebagai profesi “kepercayaan”, memang akuntan harus selalu menyadari fungsinya sebagai kepercayaan masyarakat yang harus dijaga. Profesi akuntan hanya bisa “survive” jika bisa menjaga amanah yang diberikan masyarakat (user) kepadanya. Tanpa itu maka profesi ini akan kehilangan eksistensinya. Ini yang selalu ditekankan oleh Prof.Bambang Sudibyo dalam beberapa kesempatan termasuk dalam Seminar Nasional IAI di Surabaya 19-21 April tahun 2000 Profesi ini hanya bisa dijaga jika akuntan selalu berpedoman pada kode etik, standar dan moralitas. Profesi ini sudah memiliki berbagai instrumen pengawasan sendiri yaitu “self regulating” untuk menjaga “amanah” masyarakat ini. Profesi akuntan harus memiliki integritas, independen dan bebas dari semua kepentingan di luar “kepentingan menegakkan kebenaran” yang bisa merugikan pihak lain. Hanya dengan sikap begitulah kita akan dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat itu. Oleh karena itu, peran IAPI yang berencana untuk merevisi draft beberapa perangkat profesi antara lain mengenai independensi dan integritas sangat dihargai. Di Indonesia juga kita banyak menghadapi tantangan, khususnya adanya perilaku sebagian kecil (atau besar?) anggota profesi yang tidak menghargai integritas dan moralitas ini, sehingga “karena nilai setitik rusak susu sebelanga”. Kita di Tanah Air bahkan profesi akuntan ini sudah dianggap “tukang angka” yang dapat mengatur laba atau nilai kekayaan perusahaan sesuai dengan pesan sponsor ( perusahaan/ bank ). Stigma ini tentu berbahaya bagi kelangsungan dan peran dari profesi ini. Oleh karena itu, kita semua tanpa kecuali harus berusaha mengambilkan kepercayaan agar profesi ini mendapat tempat di hati masyarakat. Revitalisasi integritas profesi ini semakin penting dalam hal mendukung upaya tugas yang dibebankan MPR kepada pemerintah, yaitu memberantas segala bentuk korupsi dan praktik KKN lainnya. Demikian juga tekanan dunia internasional untuk menerapkan “good governance” baik di sektor corporate maupun sektor publik atau pemerintah. Dalam hal ini peran akuntan sangat pentinga. Tanpa dibarengi dengan komitmen moral dari akuntan maka tentu tugas tugas suci ini sukar dapat diwujudkan. Sebagai gambaran Business Week ( January 28, 2002 ) memberikan beberapa tindakan reformasi profesi akuntan sebagai berikut: 1. Terapan dan mantapkan pelaksanaan “self regulation” secara lebih tegas. 2. Hentikan pemberian jasa konsultan untuk langganan yang menerima jasa audit 3. Lakukan rotasi auditor 4. Terapkan lebih banyak “audit forensic” 5. Batasi infiltrasi auditor ke perusahaan.\ 6. Reformasi komite audit 7. Bersihkan aturan atau standar akuntansi dari hal-hal yang memungkinkan dapat menimbulkan “creative accounting” Beberapa ide ini sudah lama menjadi bahan diskusi di tanah air dan bahkan secara teorritis sudah dijadikan sebagai kebijakan, namun belum bisa secara efektif diterapkan dilapangan, Sebaiknya kasus Enron Corporation di Amerika dapat menjadi pelajaran berharga bagi pejabat yang berwenang di organisasi profesi IAPI. Marilah sama sama kita tingkatkan perhatian dan upaya profesi akuntan untuk menjaga kredibilitas, amanah, integritas dengan mematuhi semua standar dan kode etik yang ada dan menjujung tinggi etika dan moralitas agar profesi kita mendapat tempat dihati masyarakat. Klau ini bisa kita jaga, maka peristiwa seperti yang menimpa akuntan dalam kasus Enron maupun kasus kasus lain di indonesia dapat kita hilangkan Referensi : Sofyan Syafri Harahab.Teori Akuntansi.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.2011
Kamis, 12 April 2012
PT Asuransi Prisma Indonesia adalah sebuah perusahaan asuransi yang berada di jakarta-DKI Jakarta, sudah hampir 20 tahun berkecimpung di dunia asuransi, PT Asuransi Prisma Indonesia harus gulung tikar. Sejak 2006, perusahaan yang didirikan 1991 itu memang tak mampu lagi menyokong modal. Kondisi itu membuat Menteri Keuangan mencabut izin usaha Asuransi Prisma. Situasi perusahaan asuransi itu pun semakin runyam.
Lantaran terus diterpa ‘bencana’, Asuransi Prisma memutuskan mempailitkan diri sendiri. Permohonan pailit itu diajukan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Kini, persidangan perkara No. 01/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST yang dipimpin hakim Sugeng Riyono itu tengah memasuki tahap pembuktian. Permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi sebenarnya harus diajukan oleh Menteri Keuangan sendiri. Namun lantaran izin usaha telah dicabut, Asuransi Prisma yakin bisa mengajukan permohonan pailit sendiri.
Pemicu lainnya adalah jumlah utang perusahaan diperkirakan lebih besar dibanding aset Asuransi Prisma. Total utang perusahaan per 4 Desember 2009 berjumlah Rp11,566 miliar, sedangkan aset Asuransi Prisma diperkirakan senilai Rp1,641 miliar.
Dalil itu mengacu dari Pasal 149 ayat (2) UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal itu menentukan dalam hal likuidator memperkirakan bahwa utang Perseroan lebih besar daripada kekayaan Perseroan, likuidator wajib mengajukan permohonan pailit Perseroan, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain, dan semua kreditor yang diketahui identitas dan alamatnya, menyetujui pemberesan dilakukan di luar kepailitan.
Daftar Kreditur Yang Disebutkan Dalam Permohonan Pailit
Berdasarkan catatan 2007/2008
1 PT Dekal Indonesia Rp305,152 juta
2 IBS RE Jakarta Rp127,157 juta
3 IBS RE Singapore Rp260,897 juta
4 Pana Harrison RE Rp514,336 juta
5 PT Parolamas Rp122,486 juta
6 PT Reasuransi Internasional Indonesia Rp276,138 juta
7 Trinity RE Rp215,055 juta
8 PT Tugu Re Rp276,507 juta
9 PT Nasre Rp162,965 juta
10 Korean Reins Company Rp152,309 juta
11 Tugu Insurance Company Rp222,340 juta
12 PT Indoturbine Rp992,665 juta
13 PT Bukit Makmur Mandiri Rp327,290 juta
14 PT Radita Rp251,999 juta
15 PT Manunggal Bhakti Suci Rp173,699 juta
Pascapencabutan izin usaha pada 13 Mei 2008, Asuransi Prisma secara sukarela melakukan pembubaran diri (likuidasi). Hal itu diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 17 Juni 2008. Hasil kesepakatan RUPS lalu dituangkan dalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT Asuransi prisma Indonesia No. 1 tertanggal 11 Juli 2008. Dengan demikian, terhitung sejak 17 Juni 2008, PT Asuransi Prisma berada dalam proses likuidasi.
Likuidasi itu kemudian diumumkan dalam surat kabar pada 12 Juli 2008. Pengumuman itu menginformasikan bahwa para kreditur Asuransi Prisma memiliki waktu mengajukan tagihan selama 60 hari terhitung sejak 12 Juli 2008. Dari situlah muncul banyak tagihan yang melebihi nilai aset. Apalagi utang tersebut sudah jatuh tempo.
Selain terlilit utang, Asuransi Prisma juga masih terbelit sengketa asuransi dengan beberapa pihak. Hingga kini perkaranya masih belum inkracht karena masih dalam proses banding. Yakni, Asuransi melawan Punj Lloyd Indonesia dalam perkara No. 290/Pdt.G/2007/PN.JKT.PST, Wisnu Soehardono dalam perkara No. 966/Pdt.G/2008/PN.JKT.PST dan Frederick Rachmar HS dalam perkara No. 284/Pdt.G/2007/PN.JKT.UT.
Berdasarkan hal itu, kuasa hukum Asuransi Prima berpendapat permohonan telah memenuhi syarat Pasal 2 ayat (1) UU No. 37/2004 tentang Kepailitan. Yakni, unsur utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, serta terdapat dua kreditur atau lebih.
Somasi Menteri Keuangan
Sebelumnya, Menteri Keuangan tiga kali mengajukan somasi pada Asuransi Prisma. Peringatan diajukan lantaran Asuransi Prisma tidak memiliki kecukupan modal sesuai Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 sebagaimana diubah Peraturan Menteri Keuangan No. 136/PMK.05/2005 tanggal 27 Desember 2005 tentang Kesehatan Keuangan Peruahaan Asuransi dan Reasuransi.
Dalam somasi itu, Menkeu memerintahkan Asuransi Prisma mencari investor baru untuk menambah modal. Namun Asuransi Prisma gagal memenuhi hal itu. Setelah somasi ketiga gagal dipenuhi, Menkeu tak buru-buru ‘mematikan’ usaha Asuransi Prisma. Meski demikian, Menkeu tetap memberikan hukuman berupa sanksi pembatasan kegiatan usaha dan larangan melakukan penutupan pertanggungan baru. Hal itu tertuang dalam Surat Menkeu No. S-1199/MK.10/2007 pada 26 September 2007.
Dalam surat itu, Menkeu juga memberikan tenggat waktu selama tiga bulan buat Asuransi Prisma untuk memenuhi kecukupan modal. Jika tidak, Menkeu akan mencabut izin usaha. Sanksi ini akhirnya tak mempan. Asuransi Prisma tetap tak bisa memperbaiki keadaan perusahaan.
Menkeu akhirnya mencabut izin usaha Asuransi Prisma berdasarkan surat Kep-081/KM.10/2008 pada 13 Mei 2008. Sejak itulah, Asuransi Prisma dilarang melakukan kegiatan usaha di bidang asuransi kerugian.
MA Tolak Kepailitan Diri Sendiri Asuransi Prisma
Setelah di tingkat pertama Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak usaha mempailitkan dirinya sendiri dari PT Asuransi Prisma Indonesia. Kini giliran Mahkamah Agung (MA) yang mengkandaskan permohonan kepailitan tersebut seiring putusannya menolak kasasi perusahaan asuransi yang telah berstatus likuidasi itu.
Merujuk pada situs resmi MA, putusan penolakan atas upaya kasasi tersebut jatuh pada 12 Mei lalu. Dengan Hakim pemutus kasasi terdiri dari Takdir Rahmadi, Syamsul Maarif, dan Rehngena Purba.
Meski demikian, Asuransi Prisma melalui kuasa hukumnya Wiku Krisnamurti mengaku belum mengatahui. "Kami belum mendapatkan kabar terkait putusan ini," katanya saat dihubungi KONTAN, Minggu (23/5).
Tapi Wiku menegaskan bakal mempertimbangkan langkah hukum terkait putusan itu. Baik menempuh upaya peninjauan kembali (PK) atau mengajukan gugatan permohonan pailit kembali. "Kita akan ajukan pailit ulang tentu dengan permohonan baru," katanya
Yang pasti setelah mendapatkan salinan putusan kasasi ini, pihaknya segera melaporkan ke Menkeu. "Nanti kita minta surat ke Menkeu bahwa permohonan pailit kita ditolak. Kalau tidak mendapatkan surat kuasa ini kebangetan," jelasnya.
http://hukumonline.com/berita/baca/lt4b6bcb162f8cf/asuransi-prisma-indonesia-pailitkan-diri-sendiri
http://nasional.kontan.co.id/news/ma-tolak-kepailitan-diri-sendiri-asuransi-prisma-1/2010/05/24
Jumat, 16 Maret 2012
IFRS? disini penulis mencoba menjabarkan apa sebenarnya IFRS itu sendiri dan fenomena-fenomena yang terjadi dan pembahasan IFRS yang ada di dunia dan di Indonesia.
Pengertian IFRS
IFRS merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh International Accounting Standard Board (IASB). Standar Akuntansi Internasional (International Accounting Standards/IAS) disusun oleh empat organisasi utama dunia yaitu Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB), Komisi Masyarakat Eropa (EC), Organisasi Internasional Pasar Modal (IOSOC), dan Federasi Akuntansi Internasioanal (IFAC).
Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB) yang dahulu bernama Komisi Standar Akuntansi Internasional (AISC), merupakan lembaga independen untuk menyusun standar akuntansi. Organisasi ini memiliki tujuan mengembangkan dan mendorong penggunaan standar akuntansi global yang berkualitas tinggi, dapat dipahami dan dapat diperbandingkan (Choi et al., 1999 dalam Intan Immanuela, puslit2.petra.ac.id)
Natawidnyana(2008), menyatakan bahwa Sebagian besar standar yang menjadi bagian dari IFRS sebelumnya merupakan International Accounting Standards (IAS). IAS diterbitkan antara tahun 1973 sampai dengan 2001 oleh International Accounting Standards Committee (IASC). Pada bulan April 2001, IASB mengadospsi seluruh IAS dan melanjutkan pengembangan standar yang dilakukan.
IFRS (Internasional Financial Accounting Standard) adalah suatu upaya untuk memperkuat arsitektur keungan global dan mencari solusi jangka panjang terhadap kurangnya transparansi informasi keuangan.
Tujuan IFRS
Tujuan IFRS adalah :memastikan bahwa laporan keungan interim perusahaan untuk periode-periode yang dimaksukan dalam laporan keuangan tahunan, mengandung informasi berkualitas tinggi yang :
1. transparansi bagi para pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang periode yang disajikan
2. menyediakan titik awal yang memadai untuk akuntansi yang berdasarkan pada IFRS
3. dapat dihasilkan dengan biaya yang tidak melebihi manfaat untuk para pengguna
Struktur IFRS
Struktur IFRS mencakup:
International Financial Reporting Standards (IFRS) – standar yang diterbitkan setelah tahun 2001
International Accounting Standards (IAS) – standar yang diterbitkan sebelum tahun 2001
Interpretations yang diterbitkan oleh International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC) – setelah tahun 2001
Interpretations yang diterbitkan oleh Standing Interpretations Committee (SIC) – sebelum tahun 2001 (www.wikipedia.org)
Secara garis besar ada empat hal pokok yang diatur dalam standar akuntansi. Yang pertama berkaitan dengan definisi elemen laporan keuangan atau informasi lain yang berkaitan. Definisi digunakan dalam standar akuntansi untuk menentukan apakah transaksi tertentu harus dicatat dan dikelompokkan ke dalam aktiva, hutang, modal, pendapatan dan biaya. Yang kedua adalah pengukuran dan penilaian. Pedoman ini digunakan untuk menentukan nilai dari suatu elemen laporan keuangan baik pada saat terjadinya transaksi keuangan maupun pada saat penyajian laporan keuangan (pada tanggal neraca). Hal ketiga yang dimuat dalam standar adalah pengakuan, yaitu kriteria yang digunakan untuk mengakui elemen laporan keuangan sehingga elemen tersebut dapat disajikan dalam laporan keuangan. Yang terakhir adalah penyajian dan pengungkapan laporan keuangan. Komponen keempat ini digunakan untuk menentukan jenis informasi dan bagaimana informasi tersebut disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan. Suatu informasi dapat disajikan dalam badan laporan (Neraca, Laporan Laba/Rugi) atau berupa penjelasan (notes) yang menyertai laporan keuangan.
Perencanaan pengadopsian fair value di dunia dan di Indonesia
Apa sesungguhnya fair value? selama ini, sistem akuntansi di Indonesia menggunakan konsep historical cost. Konsep ini menggunakan pendekatan biaya perolehan menghasilkan nilai buku. untuk berbagai kepentingan, laporan nilai buku itulah yang selama ini lazim dijadikan acuan untuk menilai sebuah perusahaan. Dengan kondisi pasar yang semakin dinamis, dan berkembang sangat cepat, akhirnya konsep historical cost dianggap tidak cocok lagi, karena tidak mencerminkan nilai pasar. Sebagai gantinya digunakan konsep Fair Value.
Berbeda halnya dengan Amerika Serikat yang bersikap secara perlahan menerapkan Fair Value measurement yang telah diatur dengan sangat kompleks, detail, rinci oleh GAAP, Indonesia begitu mengetahui pasar sedang bergejolak dan kondisi di dalam negeri juga belum siap benar, Indonesia lebih memilih menunda penerapan Fair Value. Indonesia akhirnya baru menerapkan fair value secara penuh pada 2012.
Masalah ketidaksiapan Indonesia juga diakui Jusuf Wibisana. Menurut mantan Ketua DSAK tersebut, DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) memang belum pernah melakukan penelitian tentang kesiapan Indonesia dalam menerapkan fair value. Namun, diakui Jusuf, ada beberapa pihak atau bidang yang sudah siap, tapi banyak juga yang belum siap. Namun demikian, DSAK sudah menyusun beberapa standar yang semua mengacu pada IFRS/IAS, termasuka didalamnya konsep fair value. Diantaranya adalah PSAK no 30 tentang sewa beserta PSAK no 8. PSAK no 13 tentang Properti Investasi, PSAK no 16 tentang aset tetap dan PSAK 50 dan PSAK 55 tentang Instrumen Keuangan. DSAK juga menerbitkan buletin teknis sebagai panduan untuk melakukan perhitungan fair value pada standar-standar tersebut. Hampir seluruh Pronouncement the International Accounting Standard Board sudah menerapkan dasar fair value, Indonesia juga akan mengadopsinya.
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) dalam beberapa peraturannya juga telah mengadopsi atau memasukkan konsep fair value, diantaranya IX.E.I tentang Transaksi afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu, IX.E.2. tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama, IX.G.I tentang penggabungan usaha atau peleburan usaha perusahaan publik/emiten, IX.L.I. tentang Tata cara Pelaksanaan Kuasi Reorganisasi dan IV.C.2. tentang Nilai Pasar wajar dari efek dalam portofolio reksadana. Menurut Kepala Bidang Akuntansi Keuangan dan Pemeriksaan Bapepam-LK Etty Retno Wulandari, mengatakan, untuk penerapan fair value di lingkungan pasar modal, Bapepam-LK akan selalu mengikuti dan meng-enforce semua standar yang dikeluarkan DSAK.
Menuju IFRS:Konvergensi Standar Akuntansi Keu (SAK) ke IFRS
Dua puluh Sembilan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) masuk dalam program konvergensi IFRS yang dicanangkan DSAK IAI tahun 2009 dan 2010.
“Sasaran konvergensi IFRS yang telah dicanangkan IAI pada tahun 2012 adalah merevisi PSAK agar secara material sesuai dengan IFRS versi 1 Januari 2009 yang berlaku efektif tahun 2011/2012,” demikian disampaikan Ketua DSAK IAI Rosita Uli Sinaga pada Public Hearing Eksposure Draft PSAK 1 (Revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan, di Jakarta Kamis 20 Agustus 2009 lalu.
Program konvergensi DSAK selama tahun 2009 adalah sebanyak 12 Standar, yang meliputi:
1. IFRS 2 Share-based payment
2. IAS 21 The effects of changes in foreign exchange rates
3. IAS 27 Consolidated and separate financial statements
4. IFRS 5 Non-current assets held for sale and discontinued operations
5. IAS 28 Investments in associates
6. IFRS 7 Financial instruments: disclosures
7. IFRS 8 Operating segment
8. IAS 31 Interests in joint ventures
9. IAS 1 Presentation of financial
10. IAS 36 Impairment of assets
11. IAS 37 Provisions, contingent liabilities and contingent asset
12. IAS 8 Accounting policies, changes in accounting estimates and errors
Program konvergensi DSAK selama tahun 2010 adalah sebanyak 17 Standar sebagai berikut:
1. IAS 7 Cash flow statements
2. IAS 41 Agriculture
3. IAS 20 Accounting for government grants and disclosure of government assistance
4. IAS 29 Financial reporting in hyperinflationary economies
5. IAS 24 Related party disclosures
6. IAS 38 Intangible Asset
7. IFRS 3 Business Combination
8. IFRS 4 Insurance Contract
9. IAS 33 Earnings per share
10. IAS 19 Employee Benefits
11. IAS 34 Interim financial reporting
12. IAS 10 Events after the Reporting Period
13. IAS 11 Construction Contracts
14. IAS 18 Revenue
15. IAS 12 Income Taxes
16. IFRS 6 Exploration for and Evaluation of Mineral Resources
17. IAS 26 Accounting and Reporting by Retirement Benefit Plan
Banyaknya standar yang harus dilaksanakan dalam program konvergensi ini menjadi tantangan yang cukup berat bagi DSAK IAI periode 2009-2012. Implementasi program ini akan dipersiapkan sebaik mungkin oleh IAI. Dukungan dari semua pihak agar proses konvergensi ini dapat berjalan dengan baik tentunya sangat diharapkan.
Akuntan Publik diharapkan dapat segera mengupdate pengetahuannya sehubungan dengan perubahan SAK, mengupdate SPAP dan menyesuaikan pendekatan audit yang berbasis IFRS. Akuntan Manajemen/Perusahaan dapat mengantisipasi dengan segera membentuk tim sukses konvergensi IFRS yang bertugas mengupdate pengetahuan Akuntan Manajeman, melakukan gap analysis dan menyusun road map konvergensi IFRS serta berkoordinasi dengan proyek lainnya untuk optimalisasi sumber daya.
Akuntan Akademisi/Universitas diharapkan dapat membentuk tim sukses konvergensi IFRS untuk mengupdate pengetahuan Akademisi, merevisi kurikulum dan silabus serta melakukan berbagai penelitian yang terkait serta Memberikan input/komentar terhadap ED dan Discussion Papers yang diterbitkan oleh DSAK maupun IASB.
Regulator perlu melakukan penyesuaian regulasi yang perlu terkait dengan pelaporan keuangan dan perpajakan serta melakukan upaya pembinaan dan supervisi terhadap profesi yang terkait dengan pelaporan keuanganseperti penilai dan aktuaris. Asosiasi Industri diharap dapat menyusun Pedoman Akuntansi Industri yang sesuai dengan perkembangan SAK, membentuk forum diskusi yang secara intensif membahas berbagai isu sehubungan dengan dampak penerapan SAK dan secara proaktif memberikan input/komentar kepada DSAK IAI.
Program Kerja DSAK lainnya yaitu: Mencabut PSAK yang sudah tidak relevan karena mengadopsi IFRS; Mencabut PSAK Industri; Mereformat PSAK yang telah diadopsi dari IFRS dan diterbitkan sebelum 2009; Melakukan kodifikasi penomoran PSAK dan konsistensi penggunaan istilah; Mengadopsi IFRIC dan SIC per 1 January 2009; Memberikan komentar dan masukan untuk Exposure Draft dan Discussion Paper IASB; Aktif berpartisipasi dalam berbagai pertemuan organisasi standard setter, pembuat standar regional/internasional; serta Menjalin kerjasama lebih efektif dengan regulator, asosiasi industri dan universitas dalam rangka konvergensi IFRS. (sumber: Ikatan Akuntan Indonesia)
Konvergensi ke IFRS di Indonesia
Indonesia saat ini belum mewajibkan bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia menggunakan IFRS melainkan masih mengacu kepada standar akuntansi keuangan lokal. Dewan Pengurus Nasional IAI bersama-sama dengan Dewan Konsultatif SAK dan Dewan SAK merencanakan tahun 2012 akan menerapkan standar akuntansi yang mendekati konvergensi penuh kepada IFRS.
Dari data-data di atas kebutuhan Indonesia untuk turut serta melakukan program konverjensi tampaknya sudah menjadi keharusan jika kita tidak ingin tertinggal. Sehingga, dalam perkembangan penyusunan standar akuntansi di Indonesia oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) tidak dapat terlepas dari perkembangan penyusunan standar akuntansi internasional yang dilakukan oleh International Accounting Standards Board (IASB). Standar akuntansi keuangan nasional saat ini sedang dalam proses secara bertahap menuju konverjensi secara penuh dengan International Financial Reporting Standards yang dikeluarkan oleh IASB.
Dan untuk hal-hal yang tidak diatur standar akuntansi internasional, DSAK akan terus mengembangkan standar akuntansi keuangan untuk memenuhi kebutuhan nyata di Indonesia, terutama standar akuntansi keuangan untuk transaksi syariah, dengan semakin berkembangnya usaha berbasis syariah di tanah air. Landasan konseptual untuk akuntansi transaksi syariah telah disusun oleh DSAK dalam bentuk Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah. Hal ini diperlukan karena transaksi syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan transaksi usaha umumnya sehingga ada beberapa prinsip akuntansi umum yang tidak dapat diterapkan dan diperlukan suatu penambahan prinsip akuntansi yang dapat dijadikan landasan konseptual. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan untuk transaksi syariah akan dimulai dari nomor 101 sampai dengan 200. (SY)
Indonesia harus mengadopsi standar akuntansi internasional (International Accounting Standard/IAS) untuk memudahkan perusahaan asing yang akan menjual saham di negara ini atau sebaliknya. Namun demikian, untuk mengadopsi standar internasional itu bukan perkara mudah karena memerlukan pemahaman dan biaya sosialisasi yang mahal.
Membahas tentang IAS saat ini lembaga-lembaga yang aktif dalam usaha harmonisasi standar akuntansi ini antara lain adalah IASC (International Accounting Standard Committee), Perserikatan Bangsa-Bangsa dan OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Beberapa pihak yang diuntungkan dengan adanya harmonisasi ini adalah perusahaan-perusahaan multinasional, kantor akuntan internasional, organisasi perdagangan, serta IOSCO (International Organization of Securities Commissions)
Iqbal, Melcher dan Elmallah (1997:18) mendefinisikan akuntansi internasional sebagai akuntansi untuk transaksi antar negara, pembandingan prinsip-prinsip akuntansi di negara-negara yang berlainan dan harmonisasi standar akuntansi di seluruh dunia. Suatu perusahaan mulai terlibat dengan akuntansi internasional adalah pada saat mendapatkan kesempatan melakukan transaksi ekspor atau impor. Standard akuntansi internasional (IAS) adalah standard yang dapat digunakan perusahaan multinasional yang dapat menjembatani perbedaan-perbedaan antar Negara, dalam perdagangan multinasional.
IASC didirikan pada tahun 1973 dan beranggotakan anggota organisasi profesi akuntan dari sepuluh negara. Di tahun 1999, keanggotaan IASC terdiri dari 134 organisasi profesi akuntan dari 104 negara, termasuk Indonesia. Tujuan IASC adalah (1) merumuskan dan menerbitkan standar akuntansi sehubungan dengan pelaporan keuangan dan mempromosikannya untuk bisa diterima secara luas di seluruh dunia, serta (2) bekerja untuk pengembangan dan harmonisasi standar dan prosedur akuntansi sehubungan dengan pelaporan keuangan.
IASC memiliki kelompok konsultatif yang disebut IASC Consultative Group yang terdiri dari pihak-pihak yang mewakili para pengguna laporan keuangan, pembuat laporan keuangan, lembaga-lembaga pembuat standar, dan pengamat dari organisasi antar-pemerintah. Kelompok ini bertemu secara teratur untuk membicarakan kebijakan, prinsip dan hal-hal yang berkaitan dengan peranan IASC.
Hubungan IFRS, Tanggungjawab Sosial Akuntan dan Model Pendidikan Akuntansi di Indonesia
Isu IFRS telah lama mempengaruhi berbagai aspek ekonomi di dunia. Tidak hanya aspek ekonomi, sejak direncanakan perubahan PSAK dan dilakukan konvergensi PSAK ke IRFS, berbagai aspek ekonomi, sosial dan politik mengalami perubahan yang semakin kompleks. Penyusunan standar keuangan baru dipengaruhi berbagai unsur politik, sosial, ekonomi, dsb yang saling terkait satu sama lain dan tentunya juga berpengaruh pada fenomena yang akan terjadi setelah standar-standar keuangan tersebut diaplikasikan pada praktek akuntansi.
Dalam aspek ekonomi, standar Akuntansi yang disusun oleh para akuntan cenderung mengarah pada dunia bisnis atau perekonomian dunia. Begitu juga IFRS yang disusun oleh IASB masih terfokus pada dunia bisnis dan perekonomian dunia. Bagaimana tidak, pada IFRS Chapter 2, mengenai presentation of financial statements, dijelaskan bahwa setiap investor membutuhkan informasi entitas yang dapat membantu investor dan pengguna-pengguna laporan keuangan lainnya dalam membuat keputusan ekonomi. Artinya dalam penyajian laporan keuangan hanya ditujukan untuk keputusan ekonomi dan mengatasi permasalahan-permasalahan ekonomi tanpa melihat aspek-aspek lainnya yang akan dipengaruhi oleh IFRS itu sendiri. Dengan kata lain, IFRS disusun dan diadopsi lebih tertuju pada para investor atau pemegang saham. Karena selain manajer perusahaan yang mengambil keputusan ekonomi, pemegang saham merupakan salah satu stakeholder yang paling membutuhkan data informasi keuangan yang relevan dengan keadaan ekonomi yang setiap saat mengalami perubahan.
Konvergensi IFRS yang terjadi di Indonesia pun juga demikian. Hingga saat ini, harmonisasi yang dilakukan oleh DSAK tentunya mengadopsi IFRS yang tertuju pada para pemegang saham. Para pemegang saham akan lebih diuntungkan daripada stakeholder-stakeholder lainnya. Karena salah satu tujuan dari IFRS disusun dan diadopsi adalah untuk melindungi para pemegang saham dari informasi pelaporan keuangan yang terdistorsi atau kurang relevan. Dengan informasi yang relevan dan wajar, maka para pemegang saham dapat dipastikan mampu mengambil keputusan dengan tepat dalam kondisi ekonomi tertentu. Karena informasi yang relevan dengan keadaan pasar atau dengan keadaan ekonomi masa kini tentunya akan memberikan keuntungan besar bagi investor, dimana investor/pemegang saham dapat memperbesar kapitalisme di negara Indonesia. Bahkan sebelum adanya konvergensi IFRS, PSAK cenderung terfokus pada entitas dan pemegang saham, sebagai contoh PSAK 50 dan 55 yang mengatur mengenai efek dan derivatif, dimana efek dan derivatif merupakan alat bagi investor untuk berinvestasi di pasar modal Indonesia. Setelah adanya konvergensipun juga demikian, dimana konvergensi PSAK 50 dan 55 yang telah direvisi pada tahun 2006 tersebut belum memberikan suatu perubahan arah fokus selain kepada para investor.
IFRS yang diadopsi ke PSAK ini juga mengarah pada kepentingan manajemen. Beberapa aturan yang terdapat dalam PSAK mengatur segala operasi perusahaan secara detail. Sebagai contoh, kapitalisasi beban untuk perusahaan pertambangan pada ED PSAK nomor 33, dimana dijelaskan bahwa perusahaan dapat mengkapitalisasi biaya eksplorasi tanpa ada perkecualian. Sehingga memudahkan bagi perusahaan untuk menyusun laporan keuangan dan mengklasifikasikan biaya dalam akun-akun. Selain itu, hal ini juga menguntungkan bagi perusahaan dalam mengakapitalisasi, dimana dengan kapitalisasi ini perusahaan mempunyai Aset yang lebih besar dalam laporan keuangan.
Dengan konvergensi IFRS, perusahaan-perusahaan melakukan pelaporan keuangan akan lebih mudah, lebih hemat biaya dan terjadi sedikit penyesuaian laporan keuangan. Hal ini merupakan salah satu tujuan konvergensi IFRS, dimana lebih memudahkan perusahaan dalam melakukan pelaporan keuangan. Sehingga fokus penyusunan IFRS, maupun konvergensi pada PSAK pun juga terfokus pada kepentingan manajemen atau perusahaan itu sendiri.
Pengadopsian IFRS yang dilakukan DSAK ini juga kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Penyusunan PSAK baru didominasi oleh para akuntan yang memiliki sudut pandang bisnis dan perekonomian. Permasalahan politik yang terjadi hingga saat ini sangat kurang diperhatikan dan pemerintah hanya mendapatkan informasi mengenai laporan keuangan saja tanpa memperhatikan unsur politik. Unsur politik adalah yang paling utama dalam pemerintahan Indonesia. Seperti yang dilansir dalam Majalah Akuntansi Indonesia, hingga saat ini proporsi orang politik lebih besar daripada para profesional yang menekuni bidangnya. Sehingga dapat dipastikan profesional dalam bidang akuntansi dan keuangan sangat kurang. Berdasarkan survei yang dilakukan redaksi Akuntansi Indonesia, Dari 155 kuisioner yang dibagikan pada pemerintah, 54 persen dari kuisioner merupakan orang-orang yang mengaku tidak paham mengenai bidang akutansi, dan sisanya adalah yang paham mengenai bidang akuntansi. Hal ini menandakan kurangnya perhatian pemerintah dalam bidang akuntansi dan masih banyak oknum pemerintah yang belum paham mengenai akuntansi. Sehingga dapat muncul sikap yang apatis mengenai penyusunan standar akuntansi keuangan. Belum lagi dengan kejadian korupsi di kubu pemerintahan yang hingga saat ini makin marak. Korupsi yang tidak ada hentinya ini menyebabkan pemerintah terlalu disibukkan permasalahan korupsi sehingga pemerintahpun tidak memperhatikan permasalahan bidang ekonomi, seperti konvergensi IFRS yang setiap waktu dapat berubah.
Tanggung Jawab seorang akuntan di masa mendatang memang dirasa cukup dilema karena dengan segala kemudahan-kemudahan yang didapat, maka akan menguntungkan pihak kapitalisme yang semakin lama semakin menguasai perekonomian dunia. Dengan adanya konvergensi IFRS ini, para akuntan lebih fokus pada kepentingan perusahaan atau investor. Dengan aturan-aturan yang terfokus pada investor dan perusahaan, tanggung jawab seorang akuntan hanya sebatas kepada perusahaan dan investor. Hingga saat ini pun, akuntan lebih memprioritaskan fee dari pekerjaan akuntansi, dimana pemberi fee adalah pihak manajemen/perusahaan atau investor itu sendiri. Sehingga bisa dimungkinkan terjadinya subjektivitas terhadap perusahaan atau investor dan akuntan bekerja tidak mengutamakan independensi tetapi mengutamakan gaji/fee.
Tanggung jawab akuntan masih terbatas pada investor atau perusahaan. Padahal seorang akuntan tidak hanya melayani jasa pelaporan keuangan untuk investor atau perusahaan. Seorang akuntan dituntut menjadi akuntan yang dapat memberikan tanggung jawab kepada seluruh stakeholder dengan penuh keadilan dimana laporan keuangan yang disusun oleh akuntan adalah relevan. Sehingga Akuntan-akuntan diharapkan untuk memiliki tanggung jawab sosial yang baik agar dapat memenuhi semua kepentingan stakeholder.
Perlu adanya pengkajian ulang tentang tanggung jawab akuntan pada proses kovergensi IFRS, dimana kepentingan-kepentingan para stakeholder perlu didiskusikan agar PSAK yang baru tidak hanya terfokus pada kepentingan perusahaan/investor saja. Ruang lingkup dalam PSAK perlu diperluas dimana PSAK baru dapat mengandung tanggung jawab sosial akuntan. Tidak hanya tanggung jawab sosial, masalah etika akuntan perlu dikaji kembali dan PSAK baru mampu mengcover permasalahan-permasalahan tanggung jawab sosial. Pelaporan keuangan diharapkan tidak hanya menampilkan angka-angka dan pengungkapan dari angka-angka tersebut, akan tetapi mampu melaporkan seluruh aspek perusahaan termasuk perlakuan terhadap para stakeholder. Apakah perusahaan telah menyentuh semua stakeholder ataukah belum menjadi suatu pertanggungjawaban perusahaan dan akuntan sebagai penyaji laporan keuangan wajib melaporkan semua mengenai perusahaan.
Seperti yang dikutip dari Majalah Akuntansi Indonesia edisi 17, sebelum dilakukan harmonisasi/konvergensi bertahap, pendidikan akuntansi di Indonesia telah mempunyai beberapa masalah dan salah satunya adalah kompetensi akuntan-akuntan yang tidak berstandar Internasional. Ini menjadi kendala yang masih belum terselesaikan hingga konvergensi IFRS dilaksanakan bertahap. Secara pelaporan keuangan saja, pendidikan akuntansi di Indonesia masih dikatakan lemah. Maka tidak menutup kemungkian pendidikan akuntansi di indonesia masih terfokus pada permasalahan pelaporan keuangan.
Hingga saat ini, pendidikan akuntansi di Indonesia mengacu pada PSAK yang diadopsi dari FASB. Laporan yang dihasilkan pun masih terfokus dengan angka-angka yang mewakili informasi akuntansi sebuah perusahaan. Begitu juga setelah adanya konvergensi IFRS, permasalahan yang diangkat dan dikaji dalam forum DSAK adalah mengenai masalah pelaporan keuangan saja. PSAK yang telah direvisi ini pun juga masih terlarut dalam pelaporan keuangan. Sehingga seluruh materi yang diberikan dalam kelas akuntansi terfokus pada pelaporan keuangan. Sangat sulit untuk melangkah lebih luas lagi, dimana diharapkan akuntan tidak hanya berada dalam ruang lingkup pelaporan keuangan. Tetapi mempunyai tanggung jawab sosial dan etika yang baik dalam menjalankan tugas sebagai akuntan.
Solusi untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan akuntansi adalah perlu adanya pengkajian ulang mengenai masalah pendidikan dalam proses konvergensi IFRS. Beberapa hal perlu dipertimbangkan agar pendidikan akuntansi di Indonesia tidak hanya larut pada pelaporan keuangan, melainkan berbagai aspek yang terkait dan dampak-dampak yang muncul setelah konvergensi IFRS dilakukan, termasuk permasalahan pendidikan akuntansi yang terus update dari waktu ke waktu.
Pendidikan akuntansi merupakan masalah yang tidak terlalu dipertimbangkan oleh para akuntan-akuntan senior dan sekaligus Dewan Standar Akuntansi Keuangan. Fenomena-fenomena ekonomi dan permasalahan global lainnya menjadi bahan pertimbangan utama dalam menentukan keputusan konvergensi IFRS. Padahal pendidikan sangan berpengaruh pada kualitas akuntan di masa depan. Untuk merubah pendidikan akuntansi di indonesia menjadi lebih baik, kita harus mengkaji ulang konvergensi IFRS ke PSAK, apakah cocok untuk materi di bangku perkuliahan atau tidak. Karena konvergensi IFRS ke PSAK ini merupakan landasan dari semua aktivitas akuntansi, mulai dari materi hingga praktek akuntansi di lapangan.
Selanjutnya dimana para akademisi perlu mengadakan perubahan kurikulum, silabus dan literatur agar akuntan-akuntan di indonesia dapat melakukan tugas sebagai seorang akuntan dengan baik. Karena perubahan-perubahan fenomena akuntansi berkembang dengan cepat dan kita sebagai akuntan juga harus mampu mengikuti perubahan-perubahan yang akan terjadi dimana perubahan-perubahan ini akan memberikan tantangan-tantangan baru bagi para akuntan untuk menjadi akuntan yang mampu memberikan hal terbaik bagi dunia akuntansi.
Tidak menutup kemungkinan pada 2012, PSAK baru dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh (stakeholder, pendidikan, sosial dan aspek-aspek lainnya) akan menjadi standar akuntansi keuangan yang dapat digunakan sebagai acuan pendidikan akuntansi Indonesia yang mampu memanusiakan manusia. Konvergensi IFRS memang harus dikaji sedemikian rupa dengan segala pertimbangan atas fenomena ekonomi dan aspek-aspek lainnya yang dapat berpengaruh serta perlu adanya keikutsertaan para stakeholder yang juga mendapatkan dampak dari konvergensi IFRS itu sendiri. Terutama stake holder eksternal, seperti pemerintah, masyarakat dan sebagainya dimana sangat kurang diperhatikan apresiasinya. Sehingga PSAK baru dapat berpihak pada semua kalangan yang berhak atas informasi pelaporan keuangan.
Penginformasian mengenai pentingnya konvergensi IFRS perlu dipublikasikan kepada berbagai kalangan yang akan menerima dampak saat proses konvergensi dan setelah konvergensi selesai. Indonesia belum siap menghadapi apdopsi IFRS secara penuh pada tahun 2012 tanpa tindakan-tindakan yang cepat, termasuk publikasi kepada semua kalangan. Penginformasian disertai pengkajian IFRS terus menerus memang perlu dilakukan oleh para akuntan-akuntan, agar Indonesia dapat berkompeten di kancah internasional. Sehingga Indonesia mampu menjalankan roda perekonomian dengan baik.
Referensi :
Ikatan Akuntan Indonesia. 2010. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta : Salemba Empat
Ulfah Maria. 2008. Analisis Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Akuntansi Sosial. Skripsi
http://agusw77.files.wordpress.com/2009/10/sap-etika-bisnis-profesi.pdf diakses pada tanggal 3 Juni 2011
http://dewifitriana.blogspot.com/2011/04/jurnal-ifrs.html diakses pada tanggal 3 Juni 2011
http://dspace.widyatama.ac.id/bitstream/handle/10364/583/bab2.pdf diakses pada tanggal 3 Juni 2011
http://www.kanaka.co.id diakses pada tanggal 3 Juni 2011
http://www. wartawarga.gunadarma.ac.id diakses pada tanggal 3 Juni 2011
http://chattoer.wordpress.com/2011/07/14/hubungan-ifrs-tanggung-jawab-sosial-dan-pendidikan-akuntansi-di-indonesia/
http://www.google.co.id/search?q=fenomena%20IFRS&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:id:official&client=firefox-a&source=hp&channel=np#hl=id&client=firefox-a&hs=eQq&rls=org.mozilla:id%3Aofficial&channel=np&sclient=psy-ab&q=fenomena+IFRS+di+dunia&oq=fenomena+IFRS+di+dunia&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=3&gs_upl=54789l57945l1l58283l9l8l0l0l0l0l0l0ll0l0&gs_l=serp.3...54789l57945l1l58283l9l8l0l0l0l0l0l0ll0l0.frgbld.&psj=1&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.,cf.osb&fp=fe2a1b8071731a66&biw=1024&bih=471
(sumber: Akuntan Indonesia, majalah edisi no 16,April 2009, Ikatan Akuntan Indonesia)