Sistem Pendidikan di Indonesia vs Amerika
Di Indonesia
Pendidikan di Indonesia saat ini tidak hanya bisa dikatakan jongkok melainkan tengkurap alias sudah sangat parah. Berdasarkan hasil penelitian The Political and Economic Risk Consultacy (PERC) medio September 2001 dinyatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia berada diurutan 12 dari 12 negara Asia, bahkan lebih rendah dari Vietnam. Sementara itu berdasarkan hasil penilaian Program Pembangunan PBB (UNDP) pada tahun 2000 menunjukkan kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke-109 dari 174 negara atau sangat jauh dibandingkan dnegan Singapura yang berada pada urutan ke-24, Malaysia pada urutan ke-61, Thailand urutan ke-76, dan Filipina urutan ke-77 (Satunet.com). hasil penelitian yang lainnya pun juga menggambarkan betapa Negara Indonesia ini tertinggal jauh dengan negara lain dalam bidang pendidikan. Belum tuntas dengan ketertinggalan kita diantara Negara lain, pendidikan Indonesia juga dinodai dengan tinta pekat oleh pelaku pendidikan itu sendiri. Tahun 2007 kita dikagetkan dengan meninggalnya Cliff Muntu, Praja tingkat II IPDN dalam aksi premanisme dan kekerasan yang dilakukan oleh senior-seniornya. Sesungguhnya premanisme pendidikan sudah menjadi tontonan umum di masyarakat kita, satu contoh lagi pada jawapos 20/12/08 diberitakan seorang guru SMP lamongan yang menyuruh muridnya untuk melayani nafsu bejadnya di tenda. Krisis kejujuran pun juga dialami oleh pendidikan kita. Data menunjukkan bahwa 18 pengawas, 17 guru, dan seorang kepala sekolah yang tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru (KAMG) diminta untuk mengundurkan diri karena telah membongkar kebocoran UN 2007 (wibowo, 41:2008). Sungguh julukan apa lagi yang harus kita katakan pada pendidikan ini bila kejujuran dihadiahi dengan kedzaliman sepihak bukan ucapan terimakasih.
Tidak berheti disitu, pendidikan yang kita saksikan saat ini juga melahirkan ratusan pengangguran terdidik pertahunnya. Menurut badan statistic tenaga kerja, pengangguran sarjana lulusan universitas sekitar 385 jiwa-pemuda (184.497); pemudi (200.921), bila ditotalkan sekitar 708.254 jiwa. Itu semua tentunya bukan prestasi yang pantas kita banggakan. Mahalnya pendidikan juga kita rasakan saat ini. Berapa juta orang yang tak mampu untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi hanya karena tidak memiliki dana yang memadai. Kesenjangan pendidikan yang semakin parah ini sampai membuat orang mengatakan bahwa rakyat miskin dilarang sekolah. Padahal semua warga berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Bukankah majunya pendidikan juga akan menjadikan bangsa ini terpandang?. Silang sengkarut dunia pendidikan kita diatas masih belum mencapai klimaksnya. Banyak dari kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan, tidak mempersoalkan hal yang lebih mendasar. Yakni tentang sistem pendidikan nasional yang ditudingnya masih mewarisi sistem pendidikan kolonial. Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal tersebut dapat kita lihat dalam realita disekitar kita. Pendidikan yang ada dalam Negara kita ini semakin tinggi semakin sedikit pula porsi pendidikan agamanya (sekuler). Padahal hal tersebut sangat penting, betapa tidak ketika seseorang itu pandai dan memiliki kedudukan namun dalam dirinya tidak terdapat aqidah yang kuat maka jabatannya itupun akan digunakan untuk korupsi, mencabuli muridnya, menganiaya juniornya dan bahkan menindas para orang-orang yang jujur seperti yang tergabung dalam KAMG. Dampak dari pendidikan yang sekuler juga bisa kita lihat pada maraknya budaya bebas pada remaja kita, mulai dari pacaran, freesex, aborsi dan juga tawuran. Pantas saja di Negara ini gagal dalam melahirkan orang-orang yang sholeh dan intelektual. Selain sekuler sisterm pendidikan saat ini juga materialistik. Hal ini juga dapat kita lihat betapa seorang mahasiswa kebanyakan kuliah hanya untuk mencari pekerjaan. Padahal motivasi yang dibangun atas dasar materi adalah motivasi terendah setelah emosi dan spiritual. Mereka besar kemungkinan akan terjangkit krisis kepribadian, ya inilah awal kehancuran bangsa.
Paradigma Pendidikan Nasional
Pendidikan Indonesia adalah pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini terlihat pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab VI tentang Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan bagian kesatu (Umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Terlihat jelas dalam pasal ini adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan umum.
Ada indikasi kuat bahwa pengembangan ilmu pengatahuan dan sains teknologi yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional tidak memiliki hubungan yang kuat dengan pembentukan karakter peserta didik. Padahal, pembentukan karakter merupakan bagian penting dari proses pendidikan. Agama yang menjadi faktor penting dalam pembentukan karakter peserta didik hanya ditempatkan pada posisi yang sangat minimal, dan tidak menjadi landasan dari seluruh aspek.
Minimalnya peran agama, tampak jelas pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab X tentang Kurikulum pasal 37 ayat (1) kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat 10 bidang mata pelajaran, dimana disana terlihat bahwa pendidikan agama tidak menjadi landasan bagi bidang pelajaran lainnya.
Hal ini berdampak pada tidak terwujudnya tujuan pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan diri, masyarakat, bangsa dan negara.
Paradigma pendidikan sekular melahirkan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Kondisi kualitas sumber daya manusia yang rendah ini memperburuk kehidupan bermasyarakat. Memang dengan pendidikan sekarang masih bisa melahirkan generasi yang ahli dalam pengetahuan sains dan teknologi, namun ini bukan merupakan prestasi, karena pendidikan seharusnya menghasilkan generasi dengan kepribadian yang unggul dan sekaligus menguasai ilmu pengetahuan. Buruknya kondisi kehidupan masyarakat akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia tampak pada masih banyaknya kasus tawuran, seks bebas, narkoba dan perilaku jahat lainnya yang dilakukan para peserta didik di negeri ini.
Standar Kelulusan
Dalam UU Sisdiknas Bab V tentang Standar Kompetensi Lulusan pasal 25 disebutkan: (1) Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. (2) Standar kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah. (3) Kompetensi lulusan untuk mata pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan membaca dan menulis yang sesuai dengan jenjang pendidikan. (4) Kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Dari pasal tersebut diketahui bahwa kompetensi kelulusan harus mencakup sikap (afektif), pengetahuan (kognitif) dan ketermpilan (psikomotorik). Standar kompetensi ini harus menjadi acuan pada pemerintah dalam menetapkan standar kelulusan. Namun, terjadinya kontradiktif antara ketetapan dengan pelaksanaan di lapangan.
Kontradiktif ini terlihat dari kebijakan Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional yang menetapkan bahwa kelulusan didasarkan pada hasil UAN (Ujian Akhir Nasional). Mata pelajaran yang menjadi standar kelulusan terdiri dari Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Tentu saja ini tidak mencakup kompetensi kelulusan yang telah ditetapkan pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab V pasal 25. Karena UAN (Ujian Akhir Nasional) sendiri hanya bentuk evaluasi pelajaran dan merupakan cakupan dari pengetahuan peserta didik saja, tidak mencakup keterampilan dan sikap mereka.
Ketiga mata pelajaran ini tidak tepat untuk dijadikan sebagai representasi dari kemampuan peserta didik dalam menuntut ilmu selama tiga tahun di sekolah. Sudah menjadi hal yang umum, bahwa peserta didik memiliki minat dan kemampuan yang berbeda. Ada peserta didik yang tidak menguasai matematika, tapi ia menguasai biologi atau kimia atau yang lainnya. Ada juga peserta didik yang menguasai matematika, tapi tidak menguasai biologi atau kimia atau yang lainnya. Ini tentu merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Jadi, menentukan kelulusan peserta didik hanya dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika adalah tidak tepat.
Dengan standar nilai sebesar 4,26 juga menimbulkan ketidakadilan bagi peserta didik. Sebagai ilustrasi, seorang peserta didik pertama mendapatkan nilai Bahasa Indonesia sebesar 8 dan Matematikanya 4, ini berarti ia tidak lulus. Peserta didik kedua mendapatkan nilai Bahasa Indonesia sebesar 5 dan Matematikanya sebesar 4,9 ini berarti ia lulus. Ketidakadilan ini tampak jelas, anak yang pertama mendapatkan rata-rata sebesar 6 tidak lulus sedangkan anak kedua yang mendapatkan rata-rata sebesar 4,95 dinyatakan lulus. Kondisi seperti ini sangat merugikan bagi para peserta didik.
Dalam UU Sisdiknas Bab XVI tentang Evaluasi, Akreditasi, Dan Sertifikasi bagian kesatu (Evaluasi) pasal 58 ayat (1) disebutkan: Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Dari sini terlihat bahwa guru yang melakukan evaluasi terhadap hasil belajar peserta didik. Faktanya, pihak yang paling mengetahui kemampuan, keahlian, keterampilan, pengetahuan dan sikap para peserta didik adalah guru-guru yang mengajar dan membina mereka. Guru senantiasa bersama mereka, sehingga mengetahui kondisi peserta didik secara baik. Dan guru juga pasti mengetahui apakah peserta didik itu layak lulus atau tidak setelah ia menempuh proses pendidikan selama tiga tahun. Jadi, yang lebih layak dalam menentukan kelulusan peserta didik sebenarnya adalah guru.
Kondisi sarana dan prasana pendidikan yang ada di tiap sekolah merupakan faktor penting dalam proses pendidikan. Kondisi sarana dan prasana di tiap sekolah di Indonesia berbeda, kondisi ini akan menghasilkan kualitas pendidikan yang berbeda pula. Standar nilai kelulusan yang ditetapkan pemerintah sebesar 4,26 harus dikaji lebih dalam, apa yang menjadi dasar pemerintah menetapkan standar nilai ini dan apakah dapat menjadi representasi yang merata bagi tingkat kualitas pendidikan di seluruh Indonesia ?.
Standar nilai yang ditetapkan dapat bernilai baik jika pemerintah tidak mengabaikan kualitas sarana dan prasarana pendidikan di tiap tempat pendidikan di seluruh Indonesia. Diketahui bahwa banyak sekali sekolah di Indonesia yang sarana dan prasarana pendidikannya tidak bermutu dan tidak layak. Seharusnya pemenuhan sarana dan prasarana di tempat-tempat pendidikan dilakukan oleh pemerintah. Dalam UU Sisdiknas Bab XIII tentang pendanaan Pendidikan bagian kesatu (Tanggung Jawab Pendanaan) pasal 46 ayat (1) disebutkan: pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Yang terjadi selama ini pemerintah belum memenuhi tanggung jawabnya, sebaliknya yang terjadi adalah pemerintah melakukan kapitalisasi pendidikan, sehingga pendidikan menjadi mahal.
Oleh karena itu, standar kelulusan yang ditetapkan pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional dengan hanya mengacu pada tiga mata pelajaran dan standar nilai sebesar 4,26 adalah tidak tepat. Hal ini disebabkan karena, pertama tiga mata pelajaran yang dijadikan acuan bukanlah representasi dari tingkat kemampuan peserta didik dalam menuntut ilmu selama tiga tahun; kedua sarana dan prasarana pendidikan tidak merata diseluruh Indonesia sehingga kualitas pendidikan pun akan berbeda, sehingga menetapkan standar nilai sebesar 4,26 adalah bentuk ketidakadilan, harus ada keseimbangan antara kualitas pendidikan yang dikehendaki pemerintah dengan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan di tempat pendidikan di seluruh Indonesia; ketiga pihak yang mengetahui akan kemampuan, keahlian, pengetahuan dari peserta didik adalah guru, sehingga yang lebih berhak menentukan kelulusan peserta didik adalah guru.
Penutup
Buruknya sistem pendidikan Indonesia semakin nyata. Paradigma pendidikan yang sekular, biaya pendidikan yang mahal, pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak merata, standar kelulusan yang tidak merepsentasikan tingkat kemampuan peserta didik dalam menuntut ilmu. Ini semua terjadi karena diterapkannya sistem Kapitalisme yang menjadikan sekularisme sebagai asasnya.
Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyatnya yang wajib dipenuhi. Penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat menjadi tanggung jawab pemerintah. Dengan kata lain, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Rasulullah saw bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.”(HR al-Bukhari dan Muslim). Seorang penguasa dalam Islam berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya dan orang-orang yang digaji untuk mendidik. Sehingga akan tercipta pendidikan yang berkualitas dan gratis.
Agar lulusan pendidikan menghasilkan sumber daya manusia yang sesuai harapan, maka dibuat pendidikan terpadu. Sistem pendidikan harus memperhatikan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul. Ada tiga faktor: pertama sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga; kedua kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi; ketiga berorientasi pada pembentukan tsaqafah Islam, berkepribadian Islam dan penguasaan ilmu pengetahuan.
Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, maka KALAM UPI menyatakan bahwa:
1. Sistem pendidikan yang ada harus diganti dengan sistem pendidikan berlandaskan Islam.
2. Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Pemerintah harus mengkaji ulang terhadap standar kelulusan yang diterapkan. Standar kelulusan ini harus adil dan mencakup kompetensi dalam Pengetahuan, Keterampilan dan Sikap dari peserta didik.
4. Pemerintah harus mencari langkah yang tepat dan adil bagi siswa yang tidak lulus UAN tahun 2006, karena semua ini terjadi akibat kesalahan sistem pendidikan Indonesia.
5. Komponen-komponen masyarakat seluruhnya harus mengawasi jalannya proses perbaikan ini.
Peran Pendidikan dalam Pembangunan
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.
Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan
Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.
Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.
Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”
Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas
”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***
Di Amerika
Negara serikat atau federal yang dipilih Amerika Serikat (AS) juga tercermin dari sistem pendidikannya yang menganut desentralisasi melalui negara-negara bagian (states).
Penanggung jawab utama semua urusan pendidikan adalah departemen pendidikan yang berkedudukan di Washington. Sedang urusan sehari-hari diserahkan penuh pada tiap negara bagian.
Mirip dengan di Indonesia, selain pemerintah, swasta dan organisasi keagamaan juga diperkenankan mendirikan sekolah-sekolah. Jenjang sekolah yang mereka dirikan bervariasi dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Sekolah-sekolah swasta ini juga diperbolehkan menggunakan sistem pendidikan yang berbeda dengan yang digunakan negara bagian bersangkutan. Boarding school (sekolah asrama) adalah contoh jenis sekolah yang dibuka oleh swasta atau organisasi keagamaan.
Khusus mengenai pendidikan tinggi, pendidikan tinggi di AS dapat dibedakan menjadi College dan University. College umumnya –dengan beberapa perkecualian- lebih berfokus menyelenggarakan pendidikan program sarjana (undergraduate), sedangkan university menyelenggarakan baik sarjana (undergraduate) dan pasca sarjana (graduate). Di university istilah college menjadi mirip dengan fakultas. Sebagai contoh, di university akan kita temukan College of Engineering (Fakultas Teknik) atau College of Economics (Fakultas Ekonomi).
Meskipun demikian, seperti telah disebutkan sebelumnya, college di university ini hanya mengurusi program sarjana (undergraduate). Jadi jika ada calon mahasiswa asal Indonesia ingin mendaftar program Master Teknik Pertambangan, dia mesti berhubungan dengan Graduate College (Program Pasca Sarjana). Graduate college ini kemudian akan meneruskan lamaran ke Department of Mining Engineering yang selanjutnya akan dikembalikan lagi ke Graduate College untuk diputuskan apakah calon mahasiswa itu diterima atau tidak. Jika akhirnya diterima, mahasiswa tersebut akan terdaftar secara administratif di Graduate College dan secara akademis di Department of Mining Engineering.
Untuk program pasca sarjana, tidak semua universitas menawarkan program doktor. Beberapa diantaranya hanya menawarkan hingga jenjang master, terutama jika program itu ditujukan untuk mendidik lulusannya sebagai praktisi yang siap di dunia kerja. Program master ini juga ada 2 macam. Master terminal dan master berkelanjutan.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, master terminal adalah program untuk menyiapkan lulusannya sebagai praktisi. Setelah selesai pendidikan, dia diharapkan langsung balik ke dunia kerja. Sedang lulusan master berkelanjutan diperuntukkan bagi yang berkeinginan meneruskan pendidikannya ke jenjang doktor.
Jadi jangan sampai salah memilih. Rencana masa depan sangat berpengaruh dalam pemilihan jenis jenjang master ini.[]
Sistem Pendidikan Amerika Serikat
Pemimpin dunia di pendidikan internasional
Sekolah Menengah Atas (Secondary Education) di Amerika Serikat
• Dihitung dari grade 9 sampai grade 12, biasanya siswa berumur 14/15 tahun sampai 17/18 tahun.
• Setelah lulus dari grade 12, siswa diberikan ijasah sekolah menengah atas (high school diploma).
• Siswa yang belum menerima ijasah sekolah menengah atas dapat mengambil ujian General Education Development (GED), yang merupakan sertifikasi kemampuan akademik untuk tingkat sekolah menengah atas.
Post Secondary Education di Amerika Serikat
Siswa harus mempunyai ijasah sekolah menengah atas atau GED untuk kuliah S1 di college atau universitas Amerika. Siswa akan mendapatkan gelar S1 setelah kuliah 4 tahun atau mendapatkan gelar Associate setelah kuliah 2 tahun.
Gelar Associate
Gelar Associate dapat merupakan program transfer (dua tahun pertama program S1) atau memang merupakan program 2 tahun untuk mempersiapkan siswa untuk karir tertentu.
• kuliah 2 tahun di community college atau college swasta.
• Jenis gelar: Associate of Arts (AA) atau Associate of Science (AS).
• Siswa dapat melanjutkan kuliah dengan transfer ke college atau universitas dengan program kuliah S1 yang berdurasi 4 tahun.
Community college, dapat merupakan college publik atau swasta, merupakan institusi community-based yang juga dikenal dengan county colleges, junior colleges, technical colleges atau city colleges.
Gelar S1
Gelar S1 di Amerika Serikat sangat fleksibel dimana siswa dapat memilih beragam program.
• Kuliah 4 tahun jurusan tertentu di college atau universitas.
• Sebagai bagian dari proses penerimaan, kebanyakan universitas memerlukan nilai SAT atau ACT siswa.
• Umumnya gelar S1 dibagi menjadi 2 tahap: Tahap pertama fokus kepada program foundation, dimana siswa mengikuti kuliah pelajaran utama seperti matematika, bahasa Inggris, ilmu pengetahuan sosial dan lainnya. Tahap kedua fokus kepada pelajaran jurusan yang dipilih oleh siswa.
• Jenis gelar S1: Bachelor of Arts (BA), Bachelor of Science (BS) dan lainnya.
• Gelar diberikan setelah melengkapi jumlah kredit yang diminta (1 pelajaran biasanya dihitung mempunyai 3 atau 4 kredit) dan persyaratan utama lainnya.
College atau universitas di Amerika Serikat dapat merupakan milik pemerintah atau swasta; college pemerintah disubsidi oleh pemerintah sedangkan college swasta dibiayai oleh swasta dan biasanya lebih kecil. Perbedaan antara college dan universitas adalah college biasanya lebih kecil dan hanya menawarkan gelar S1, sedangkan universitas juga menawarkan gelar graduate (S2).
Gelar Graduate di Amerika Serikat
Siswa yang telah mempunyai gelar S1 dapat melanjutkan pendidikan mereka ke gelar S2 atau S3 (PhD). Program Graduate di Amerika Serikat lebih terfokus dan berat dibandingkan dengan program S1 dan universitas menganggap bahwa siswa telah mengetahui penegtahuan dasar bidang S3 yang akan mereka pelajari.
Gelar S2
Gelar S2 ditawarkan dalam 2 jenis, Akademik atau Profesional. Program gelar S2 tersedia di bidang yang beragam.
• Program S2 biasanya berlangsung selama 2 tahun di bidang tertentu.
• Gelar S2 Akademik termasuk: Master of Arts (MA) dan Master of Science (MS).
• Gelar S2 Profesional antara lain: Master of Business Administration (MBA), Master of Education (MeD), Master of Social Work (MSW) dan lainnya.
• Sebagai salah satu syarat penerimaan program S2, siswa harus lulus ujian GRE. Siswa yang ingin mengambil program MBA harus lulus ujian GMAT.
Gelar jurusan Hukum dan Medicine hanya ditawarkan di tingkat S2 di Amerika Serikat. Siswa harus sudah menyelesaikan gelar S1 sebelum mendaftar untuk mengikuti program tersebut. Dengan catatan memiliki TOEFL yang baik.
Gelar Hukum
Jurusan Hukum mengajarkan kemampuan praktikal kepada siswa yang ingin menjadi pengacara. Gelar A J.D. dibutuhkan untuk penerimaan di seluruh negara bagian Amerika Serikat.
• Gelar Hukum adalah program 3 tahun di universitas.
• Sebagai salah satu syarat penerimaan, siswa harus lulus ujian Law School Admissions Test (LSAT)
• Setelah menyelesaikan kuliah, siswa akan mendapatkan sertifikat Juris Doctor (J.D.).
Gelar Medicine
• Jurusan Medicine mempunyai durasi kuliah minimum 4 tahun di universitas.
• Sebagai salah satu syarat penerimaan, siswa harus lulus ujian Medical College Admissions Test (MCAT).
• Setelah berhasil lulus dari program ini, siswa akan mendapatkan gelar Doctor of Medicine (MD) atau Doctor of Osteopathic Medicine (DO).
untuk mendapatkan gelar graduate dari universitas atau college yang terkenal di Amerika Serikat, Anda harus lulus ujian GMAT atau GRE. Kaplan International Colleges telah berpengalaman dalam mempersiapkan siswa internasional untuk lulus ujian yang menantang ini dengan menggunakan bahan pelajaran terbaik dan kurikulum unik.
Gelar S3
Program S3 meliputi proses belajar lanjutan di tingkat yang lebih tinggi, mengikuti seminar, menulis skripsi, untuk melatih siswa menjadi ahli riset yang kemudian akan mengajar disiplin ilmu tertentu di college atau universitas.
• Minimum durasi untuk program ini adalah 3 tahun.
• Sebagai salah satu syarat penerimaan, siswa harus lulus ujian GRE untuk mengikuti program graduate.
• Setelah berhasil lulus dari program ini, siswa akan mendapatkan gelar Doctor of Philosophy (PhD).
Sistem pemerintahan di AS hampir mirip dengan di Indonesia. Terdiri dari 3 lapis pemerintahan yaitu pusat disebut Federal atau Sentral Goverment, pemerintah provinsi atau negara bagian yang disebut State goverment dan yang ketiga pemerintah kota atau kabupaten yang disebut Local Goverment. Ada 51 negara bagian atau state di AS, dan ada sekitar 10 sampe 30 kota/kabupaten atau disini disebut Town / City disetiap negara bagian.
Ternyata sudah menjadi kultur budaya yang sangat mengakar dalam sejarah AS bahwa pendidikan menjadi tugas bagi keluarga dan masyarakat. oleh karena itu masyarakat tidak mau kalau pendidikan diatur oleh pemerintah pusat, bahkan oleh pemerintah negara bagian, bahkan oleh pemerintah lokal sekalipun. Masyarakat merasa memiliki hak yang sangat kuat untuk menentukan sistem pendidikan seperti apa yang paling tepat untuk masyarakat mereka. Mereka menganggap tantangan yang dihadapi oleh setiap komunitas tidaklah sama, jadi sistem pendidikan juga tidak boleh atau tidak perlu disamakan antara satu kota dengan kota lain, antara satu state dengan state lain.
Sistem pemerintahan di tiap lapis juga hampir mirip dengan di Indonesia. Ada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lembaga legislatif ditingkat pusat menggunakan sistem bikameral atau sistem dua kamar, sama dengan di Indonesia ada DPR dan DPD, jumlah DPR plus DPD sama dengan MPR, disini MPR disebut Congress beranggota sebanyak 535 orang yang terdiri dari House (semacam DPR-RI) beranggota 435 orang dan Senate (semacam DPD)beranggota sebanyak 100 orang. Ditingkat state atau negara bagian atau provinci juga terdiri dari Representative (=House) dan Senate. Sedangkan ditingkat lokal hanya ada representative. Ditingkat lokal disetiap 200 orang penduduk ada 1 orang representatif, jadi contohnya ditempat kami tinggal di kota Amherst penduduknya ada 22.000 orang, maka wakil rakyatnya (representatif) ada 110 orang. Wakil rakyat ini kemudian memilih perwakilan mereka lagi atau bisa juga disebut tim formatur atau disini disebut selectman atau Selectboard sebanyak kurang lebih 5 orang yang mempunyai tugas memilih walikota (Mayor) atau Bupati (Town manager). Tidak terkait dengan itu, masyarakat juga memilih melalui pemilu lokal yang disebut wakil-wakil mereka yang akan mengurus urusan pendidikan, yaitu yang disebut school commitee atau komite sekolah. Bedanya dengan di Indonesia komite sekolah adanya ditiap sekolah, tapi di AS komite sekolah adanya ditingkat kota/kab. Jadi mungkin mirip dengan Dewan Pendidikan di Indonesia, hanya bedanya komite sekolah di AS dipilih langsung oleh rakyat.
Komite sekolah ini berjumlah berkisar 5-7 orang tergantung jumlah penduduk, dan mereka akan memilih yang disebut Super Intendants sebanyak 1 orang. Maka untuk urusan pendidikan komite sekolah berfungsi sebagai legislatifnya dan super intendant sebagai eksekutifnya atau kepala dinasnya. Jadi semacam ada 2 pemerintahan ditingkat lokal, yaitu pemerintahan yang mengurus pendidikan, dan pemerintahan yang mengurus selain pendidikan. Eksekutif yang mengurus pendidikan disebut super intendant dan eksekutif yang mengurus selain pendidikan disebut mayor atau town manager. Pendapatan pemerintah lokal berasal dari pajak property yang dipungut dari masyarakat, uang ini dipegang oleh mayor/town manager dan 60% dari uang ini diserahkan kepada Super Intendant. Ketika kami sempat bertemu dengan seorang mantan walikota Amherst, beliau menyatakan pusing dengan komite sekolah, karena uang saya sebagian besar dipakai buat mengurus pendidikan.
Amerika Serikat terdiri dari berbagai orang dari negara-negar lain didunia. makanya AS sering disebut sebagai Negri Imigran. Meskipun imigran tapi mereka diperlakukan sama. Demokrasi dan hak setiap individu dijunjung tinggi. Keberhasilan letaknya pada individu masing2 bukan pada sistemnya. Ketika di Newyork saya melihat banyak gelandangan berkeliaran dikota yang sangat padat, lebih padat dari jakarta. Lebih padat dari pusat pertokoan di kota Sukabumi. Dan orang miskin juga banyak, tetapi itu bukan lantaran mereka tidak diperhatikan pemerintah, tetapi karena mereka sendiri yang mau seperti itu, dan sebagiannya lagi karena sudah dirusak oleh obat-obat bius. Ternyata etnik yang tergolong kaya di AS adalah etnik kulit putih asli AS dan orang Asia, dan yang miskin kebanyakan orang kulit hitam, suku African American dan orang Hispanik (Amerika Latin). Kalo dari sisi agama, yang kaya adalah orang Yahudi dan Muslim. Ada sekitar 10% dari seluruh penduduk AS yang paling kaya. penghasilan pemerintah pusat atau federal adalah dari pajak penghasilan atau PPH (kalo tadi pemerintah lokal penghasilannya dari pajak proverty atau PBB). Dari keseluruhan pendapatan banyak 70%nya berasal dari 10% orang paling kaya di AS.
Tugas dari Komite Sekolah adalah : mengurus anggaran pendidikan, mengangkat Super Intendant (SI), membuat kebijakan pendidikan termasuk kurikulum, dan melaporkan ke publik (masayarakat). Tugas SI adalah : Mengangkat Principals atau Kepala Sekolah, mengangkat staf dan direktur-direktur pendidkan (subdin-subdin), melaksanakan pengelolaan pendidikan, dan melaporkan ke komite sekolah. Tugas dari Principals adalah : Sebagai manager di sekolah, mengangkat guru-guru, melaksanakan kurikulum dan melaporkan ke SI. Tugas guru adalah membuat draft kurikulum, menentukan buku (tapi tidak boleh menjual), mengajar, melaporkan ke principals.
Keuangan untuk pendidikan yang diberikan ke SI melalui komite sekolah berasal dari 60% kekayaan pemerintah lokal, 40% kekayaan pemerintah state dan 10% kekayaan pemerintah pusat. Tetapi ketika pemerintah state dan pusat memberikan kekayaannya ke komite sekolah, maka komite sekolah wajib menerima kebijakan-kebijakan pendidikan pemerintah pusat dan state yang terkait dengan jumlah uang yang diberikannya itu.
Di Indonesia kita mengenal wajib belajar SD dan SMP. Di Amerika kesempatan memperoleh pendidikan bagi seluruh warga sudah lama diberlakukan. wajib belajar di AS mulai dari SD sampai SMA. Tapi pemerintah menggratiskan biaya sekolah sejak TK sampai SMA untuk sekolah-sekolah negri. Untuk sekolah swasta, pemerintahan dipusat sampai lokal tidak memberikan anggaran apapun, dan sebaliknya sekolah itupun tidak diwajibkan mengikuti seluruh kebijakan pemerintah dibidang pendidikan.
Pada tahun 2001 pemerintah pusat melakukan Reformasi di bidang pendidikan dengan meluncurkan kebijakan NCLB atau No Child Left Behind atau Tak ada satupun anak yang tertinggal dibelakang. Kebijakan ini terkait dengan mutu atau kualitas anak didik. Negara bagian Massachusetts yang selalu terbaik dalam pendidikan telah lebih dulu mengawali kebijakan ini pada tahun 1993. Kebijakan NCLB ini antara lain dilakukan dalam bentuk penciptaan standar-standar mutu hasil didik dan pelaksanaan Ujian Nasional. Pemerintah pusat memerintahkan pemerintah negara bagian untuk membuat standar pendidikan, membuat kurikulum, membuat soal Ujian nasional dan menyelenggarakan Ujian nasional. materi yang diujikan samapai saat ini baru Matematik dan Bahasa Inggris, tapi tahun depan akan ditambah Sejarah AS dan IPA.
Intervensi pemerintah pusat dalam pendidikan dilakukan karena melihat kualitas pendidikan anak-anak SMA sangat menurun. Angka Drop Out (tidak meneruskan sekolah) sebesar rata-rata 50%, dari 50% yang ikut Ujian nasional lulus 90%, dari yang lulus ini sebagian meneruskan kuliah dan sebagian lagi bekerja. Sebelum masuk perguruan tinggi atau bekerja mereka juga di tes, dan hanya 50% dari yang ikut tes lulus masuk perguruan tinggi atau bekerja. akibatnya banyak pengangguran atau bekerja ditempat yang dibayar murah, dan akibatnya angka kemiskinan makin meningkat, seterusnya pembayar pajak semakin sedikit dan pendapan negara semakin berkurang.
Kita melihat masih terlalu banyak problema dan ketidakpuasan diseputar persoalan pendidikan ini, tetapi sebagai bangsa yang besar dan sudah tua mereka sangat berpengalaman dalam memberikan respon yang cepat dan tepat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi. Karakter ini sudah menjadi budaya bangsa Amerika yang perlu kita pelajari untuk kita ambil manfaatnya. (HNP).
Referensi :
http:// sevenlevel.wordpress.com/.../pendidikan-indonesia-sekarang-tidak-jongkok-melainkan-tengkurap-and-ngesot/.com
forum.upi.edu/v3/index.php?topic=3153.0
http://hendronurprasetyo.blogspot.com/2007/07/sistem-pendidikan-di-amerika-serikat.html
http://syafrilhernendi.com/2009/01/18/sistem-pendidikan-di-amerika/
http://www.kaplaninternational.com/ind/resources/education-system/usa-guide.aspx